Pertarungan Pemilihan Presiden 2014 ini memang cukup keras. Membuat rakyat Indonesia seperti dihadapkan pada dua pilihan yang ekstrim. Seakan-akan kalau salah memilih maka Indonesia akan hancur. “Oleh karena itu, pilih kubu saya”, kira-kira itulah slogan kampanyenya. Kubu Prabowo bilang, kalau pilih Jokowi, negara akan menjadi antek asing, komunis, Kristen, Amerika, China, Syiah, bahkan Israel sampai Iluminati. Sementara di kubu Jokowi bilang, kalau pilih Prabowo, negara akan menjadi negara otoriter seperti jaman orde baru. Akan ada penculikan dan sebagainya.
Akhirnya saya pilih Jokowi..
Kenapa?
Bukan karena saya takut diculik. Takut juga sih. 😀 Tapi saya lebih melihat Jokowi merupakan wujud dari kerinduan saya akan pemimpin yang merakyat. Walaupun katanya sifat merakyat Jokowi itu rekayasa, pencitraan, atau apalah, saya kurang peduli. Setidaknya Jokowi mencerminkan pemimpin yang merakyat dan mengkampanyekan sifat merakyat yang harusnya ditiru semua pejabat di negeri ini. Entah itu rekayasa atau bukan. Saya sudah bosan dengan pejabat yang selalu minta dihormati, pejabat yang kalau upacara rakyatnya harus menunggu 1-2 jam dijemur di lapangan sebelum akhirnya pejabat tersebut datang juga. Saya bosan dengan pejabat yang suka nutup jalan kalau mau lewat. Saya bosan dengan pejabat yang cuek saja melihat aparat pemerintahannya kerja asal-asalan, jam 11 atau jam 12 loket pelayanan sudah tutup (padahal kan seharusnya PNS masuk sampai jam 4 ya..?), dsb. Sifat-sifat pejabat seperti itu tidak tampak dari kepribadian Jokowi. Itulah kenapa saya pilih beliau.
Karena memilih Jokowi, saya sudah siap kalau ternyata Jokowi nanti terbukti antek Amerika, China, Komunis, Syiah, Israel bahkan sampai Iluminati. Meskipun kadar keimanan saya masih tipis, tapi kalaupun Jokowi antek Kristen, Syiah atau Komunis, saya yakin tidak akan membuat saya akan meninggalkan Islam sebagai agama saya. InsyaAlloh.
Kemudian terciptalah iklim yang sangat panas antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Beredar berita-berita yang entah darimana sumbernya saling menjatuhkan kedua calon Presiden tersebut. Di media sosial, dua orang teman yang dulu akrab bisa saling bermusuhan gara-gara beda pilihan. Saya juga ikut terpancing sih. Walaupun berusaha untuk “cool” dan tidak terlalu frontal memusuhi calon lain dan pendukungnya. Sebagai wujud dukungan, saya memajang foto saya yang KEREN di samping tulisan “I Stand On the Right Side” yang merupakan semboyan pendukung-pendukung Jokowi yang lain.
Iklim yang cukup panas tersebut membuat rakyat menanti hasil Pilpres 9 Juli(Rakyat? Lu aja kaliii.. ya udah sebagian rakyat, atau setidaknya saya saja yang menanti). Seakan-akan 9 Juli adalah penentu Bangsa ini akan berjaya atau hancur ke depannya. Pertarungan opini tidak hanya di tingkat elit politik saja, tetapi sampai tingkat rakyat jelata seperti saya. Baik pendukung Prabowo atau Jokowi seakan yakin bahwa kalau calonnya yang menang, negara akan berjaya. Kalau calonnya yang kalah, negara akan hancur. Saya juga kadang harap-harap cemas memikirkannya. Kalau Jokowi kalah bagaimana ya.
9 Juli terlewati.
Harapan saya segala pertarungan opini tentang Pilpres berakhir. Rakyat yang sebelumnya terpecah menjadi dua kubu kembali bersatu. Harapan saya timeline Facebook dan Twitter menjadi kondusif. Eh ternyata tidak. Biasanya setelah Pemilu langsung muncul hasil Quick Count sehingga hawa panas Pemilu langsung hilang karena hasilnya sudah diketahui. Tapi pada pemilu kali ini, kedua belah pihak yakin menang. Dengan versi Quick Countnya masing-masing. Duh, bikin rakyat tambah puyeng ternyata.
Ternyata setelah 9 Juli, hawa panas Pemilu masih berhembus. Timeline Facebook dan Twitter masih rame dengan soal hujat-menghujat, mencurangi-dicurangi, dsb. Sehingga rakyat kembali deg-degan menuju milestone berikutnya (22 Juli) yang merupakan tanggal dimana KPU akan mengeluarkan pengumuman resminya. Selama 13 hari itu rakyat dibuat deg-degan. Tetapi selama 13 hari itu juga muncul fenomena baru yang membanggakan praktisi IT di Indonesia. Dipicu kebijakan KPU yang mengunggah form C1 secara online, memunculkan website-website semacam kawalpemilu yang membuat kita bisa memantau Pemilu secara langsung. Walaupun katanya pihak yang diprediksi kalah, situs kawalpemilu ini dibuat untuk mengintervensi hasil akhir KPU. Seakan-akan nanti kalau hasil KPU beda, hasil KPU lah yang salah. Ya itu kata pihak tersebut sih..
22 Juli terlewati.
Joko Widodo-JK dinyatakan sebagai pemenang. Tapi pengumuman pemenang ini juga tidak berjalan mulus. Sesaat sebelum KPU mengumumkan pemenang Pemilu, didahului oleh pernyataan Prabowo yang menarik diri dari proses Pemilu. Menuduh Pemilu penuh kecurangan, dsb. Harapan saya bahwa semua akan selesai setelah 22 Juli kembali musnah. Rakyat kemudian disuguhi fakta-fakta kecurangan (katanya sih fakta) di berbagai daerah.
Kemudian Prabowo menggugat ke MK.
Prabowo menggugat ke MK disertai dengan pendukung-pendukungnya yang ‘menggugat’ melalui media sosial. Walaupun hawa panas itu sudah tidak terlalu panas, tapi hembusannya masih saja ada. Perhatian rakyat kemudian tercurah ke sidang MK. Banyak fenomena yang muncul di sidang MK. Mulai Pak Ketua MK yang ternyata ganteng, saksi-saksi dari Papua yang bikin tertawa, hingga munculnya pengerahan massa besar-besaran di depan gedung MK untuk ‘mengawal’ MK (mengawal atau mengintimidasi? Kata mereka sih mengawal).
Sebagian rakyat (atau setidaknya saja saja) kembali harap-harap cemas menanti tanggal 21 Agustus yang merupakan hari penetapan putusan MK terkait sengketa Pilpres. Menjelang 21 Agustus, hawa panas itu kembali berhembus. Entah keadaan memang panas, atau hanya elit-elit politiknya saja yang meniupkan hawa panas tersebut, tetapi berhasil membuat kita semua menanti-nanti hasil sidang MK pada 21 Agustus.
21 Agustus terlewati.
Sidang MK memutuskan Jokowi-JK tetap sebagai pemenang Pilpres. Pengumuman ini disertai dengan situasi mencekam di sekitaran gedung MK tempat unjuk rasa besar-besaran dari pendukung Prabowo. Sempat terjadi kerusuhan juga bahkan. Tapi Alhamdulillah tanggal 21 Agustus berhasil kita lewati. Negara ini tetap tegak berdiri tanpa ada keadaan mencekam seperti yang terjadi di Mesir atau Thailand dimana terjadi konflik berkepanjangan akibat Pemilu. Rakyat Indonesia ternyata lebih dewasa dalam menyikapi hasil sebuah Pemilu yang hasilnya hanya selisih tipis.
Tetapi apakah hawa panas permusuhan politik di tanah air telah berhenti? Ternyata tidak. Kubu Prabowo membentuk Koalisi Merah Putih (KMP). Katanya sih mereka akan bersatu untuk menjadi penyeimbang. Mengkritisi kebijakan-kebijakan Jokowi yang tidak pro rakyat. Menurut saya, hal itu adalah tujuan yang mulia. Menjadi tidak mulia kalau koalisi tersebut dibentuk hanya agar menguasai DPR, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan golongannya saja.
Bagi pendukung Jokowi, KMP merupakan ancaman. Mereka berpeluang menggerogoti pemerintahan Jokowi. Menghambat program-program Jokowi sehingga pemerintah tersandera oleh DPR. Tapi menurut saya sejauh ini Koalisi Merah Putih masih on the right track. Ya walaupun mereka berhasil menggalang kekuatan yang mementingkan golongannya seperti ketika mengesahkan UU MD3 yang menghambat PDIP mendapat kursi Ketua DPR, tapi apa pengaruhnya sih posisi Ketua DPR buat rakyat? Kalau saya sih gak peduli siapapun Ketua DPRnya. Semoga saja ya lebih baik dari Ketua DPR yang sekarang yang suka mengeluarkan pernyataan kontroversial itu.
Kemudian muncul kontroversi RUU Pilkada. Koalisi Merah Putih mendukung Pilkada kembali ke sistem lama dimana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Alasannya adalah Pilkada langsung rawan money politic, kerusuhan, dsb. Oleh sebagian pihak, manuver koalisi merah putih ini dianggap sebagai upaya menguasai pimpinan daerah untuk melawan pemerintahan Jokowi-JK. Ya memang, kalau alasannya itu, bisa kacau negara ini dalam 5 tahun ke depan.
Rakyat kembali dibuat berdebat. Terpecah menjadi dua kubu. Pro pilkada langsung, dan pro pilkada DPRD. Pro pilkada langsung seolah-olah representasi Pro Jokowi dan Pro pilkada DPRD adalah pro Prabowo. Diset lah sebuah tanggal baru yaitu 24 September sebagai penentu siapa pemenang kontroversi RUU Pilkada. Seakan-akan 24 September adalah penentu Negara ini 5 tahun mendatang akan kacau atau tidak. Hawa panas RUU Pilkada kembali dihebuskan. Hawa panas tersebut semakin panas dengan mundurnya Ahok dari Gerindra. Kemudian dihujat Haji Lulung dan M Taufik. Panas lah pokoknya.
Saya tidak ingin detil membahas RUU Pilkada. Yang saya soroti adalah, kenapa sih upaya pemisahan rakyat menjadi dua kubu ini tetap berlangsung. Kita disuguhi dengan tanggal-tanggal yang menjadi penentu kubu mana yang menang. Mulai 9 Juli, 22 Juli, 21 Agustus, dan berikutnya 24 September. Nanti mungkin akan muncul tanggal-tanggal baru yang diciptakan elit-elit politik untuk tetap ‘memanaskan suasana’. Seakan-akan tanggal tersebut sangat menentukan kehidupan bangsa ke depannya.
Saya ingin menyerukan, ya sudah lah ya.. Mari kembali ke kesibukan masing-masing. Kita tidak perlu ikut-ikut terpancing provokasi elit politik yang terus-menerus memecah kita menjadi dua kubu. Elit politik itu ya, hanya di media saja kelihatan bermusuhan tapi kalau ketemu kan santai-santai aja. Cipika-cipiki. Contoh kasus Ahok dan Haji Lulung misalnya. Kalau di media kan seperti sudah mau saling membinasakan, bunuh-bunuhan. Tapi ketika ketemu, ya biasa aja. Apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari politisi yang sedang saling bermusuhan? Kita juga tidak tahu pasti. Bisa saja istri-istri politisi yang saling bermusuhan itu ternyata arisan bareng. Jadi pagi suaminya saling membinasakan, sore istrinya arisan atau kongkow bareng. Bisa saja terjadi percakapan imajiner seperti ini,
“Ses, nanti arisan kita jadi, kan?”, tanya istri Ahok.
“Jadi lah, Cyiiin.. Tapi kata suamiku kita jangan terlalu keliatan akrab ya di luar. Biar perseteruan suami-suami kita gak dianggap rekayasa belaka”, jawab istri Haji Lulung.
Intinya kita tidak perlu lah ikut-ikutan terpancing. Bisa jadi bukan hanya istrinya yg arisan bareng. Tapi suaminya juga bisa jadi waktu pulang kerja nongkrong bareng di terminal Rawamangun menikmati senja. 🙂 Kita juga tidak boleh ikut terpancing provokasi akun-akun anonim juga yang seolah-olah ingin membuat bangsa ini terpecah. Dibikin santai aja. Akun-akun itu mah, dibayar buat memanaskan suasana. Lha kita, kalau ikutan panas, yang bayar siapa?
Menurut saya, semua yang diperdebatkan di parlemen, tidak banyak efeknya juga buat kita. Kita tetap harus kerja keras sendiri, cari duit sendiri, cari jodoh sendiri (buat yg belum punya), dsb. Tapi bukan juga berarti kita harus apatis terhadap isu-isu politik terkini. Menurut saya, kita juga harus gaul politik lah, ikut menyampaikan pendapat tentang isu politik terkini. Contohnya RUU Pilkada, ikut berpendapat boleh kok. Tapi menganggap negara ini akan hancur kalau gak ikut pendapat kita, nah itu yang tidak boleh. Dalam RUU Pilkada ini, saya mendukung pilkada oleh DPRD.
Lho, kok pro Pilkada DPRD? Sudah pindah pro Prabowo ya? Ya nggak lah. Saya tetap fans Jokowi. Tapi menurut saya, Pilkada DPRD lebih mudah mengontrol politik uang. KPK tinggal sadap saja anggota DPRD yang hanya puluhan itu, dan tangkap kalau terima suap. Lebih mudah menangkap puluhan anggota DPRD daripada menangkap jutaan rakyat yang menerima uang dari peserta Pilkada. Tapi pilkada via DPRD juga mengurangi peluang munculnya pemimpin hebat seperti Jokowi, Ridwan Kamil atau Tri Rismaharini. Jadi, semua ada kekurangan dan kelemahannya.
Nah, apapun yang diputuskan di DPR, menurut saya tidak usah terlalu diperdebatkan. Sampai hujat-hujatan, musuh-musuhan lagi, demo, dsb. Kalau elit-elit politik masih berusaha memprovokasi rakyat, ya biarkan saja. Kita tunjukkan saja kalau kita lebih dewasa dari elit-elit tersebut. Apapun manuver-manuver yang diciptakan elit, perkiraan saya sih Indonesia masih akan baik-baik saja. Bendera Merah Putih akan tetap berkibar dan Garuda akan tetap kokoh berdiri di dinding-dinding bangunan negeri ini.
Penutup:
Mari kita move-on dari perdebatan pasca Pilpres. Kembali ke rutinitas sehari-hari. Yang dosen ya ngajar, yang Mahasiswa ya belajar. Yang sopir bis ya nyopir, yang tukang tiket ya jualan tiket. Jangan sampai sopir bis yang pendukung Jokowi hanya mau nyopiri penumpang yang sama-sama pendukung Jokowi saja. Dan sebaliknya. Atau dosen yang pendukung Jokowi hanya mau ngajar mahasiswa yang pendukung Jokowi, yang pendukung Prabowo pindah kelas aja. Atau sebaliknya.
Damai Indonesiaku.
ahahahaha….., pro pilkada langsung ah…., gak usah diwakil-wakilin, milih suami juga langsung kok…., gak pake perwakilan, hehehhehehe
Tapi Ijab nya Istri kan diwakilkan ke walinya, Mbak. Hehehe..